

JAKARTA – Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Sari Yuliati menyoroti penanganan kasus perkosaan yang menimpa salah satu mahasiswi di Karawang Jawa Barat.
Sari terlihat berang, melihat cara penanganan kasus perkosaan yang dilakukan oleh paman korban sendiri itu, justru “diselesaikan” lewat pernikahan kilat, lalu diceraikan hanya sehari kemudian.
Menurut politikus Golkar ini, tindakan penyelesaian oleh pihak Polsek Majalaya Karawang itu justru mendorong mekanisme restorative justice, dan ini sangat bertentangan dengan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Diketahui, peristiwa memprihatinkan terjadi pada N (19) seorang mahasiswi di Karawang yang diperkosa pamannya yang sekalius juga guru ngajinya.
N kemudian mengadu ke polisi, namun berujung damai dengan syarat pernikahan, meski keesokan harinya dicerai.
Kronologis kejadian, terjadi saat N berkunjung ke rumah neneknya. Kemudian, pelaku atau sang paman datang bersalaman dengan dalih “belum sempat berlebaran”. Anehnya, korban mendadak tak sadarkan diri. Ketika siuman, korban sudah berada di klinik, dan tubuhnya ternoda.
Polisi: Damai Saja, Kawin Saja!
Hal yang membuat publik geram, kasus ini tidak diarahkan ke Unit PPA Polres. Malah, Polsek Majalaya memediasi pernikahan antara pelaku dan korban. Hasilnya? Sehari setelah ijab kabul, pelaku langsung menceraikan korban.
Penyelesaian seperti yang membuat Sari berang.
“Kekerasan seksual tidak boleh diselesaikan lewat jalan damai. Menikahkan pelaku dengan korban bukanlah penyelesaian, tapi pelecehan kedua!” tegas Sari, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (28/6/2025).
Tidak tinggal diam, Sari pun meminta Kapolres Karawang turun tangan. Menurutnya, tindakan aparat di tingkat bawah sudah melenceng dari semangat perlindungan terhadap korban.
“Kami sangat prihatin. Pelaku harus dihukum berat sesuai undang-undang. Bukan dikawinkan lalu dilepas seperti tidak berdosa!” tegasnya lagi.
DPR, kata Sari, akan meminta klarifikasi.
“Tidak boleh ada pembiaran atas praktik menyimpang semacam ini. Kasus kekerasan seksual harus ditangani serius, bukan ‘disapu karpet’ lewat kawin-paksa,” katanya.
Pernikahan pelaku-perkosa dengan korban, lanjut dia, bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga melanggar prinsip hukum dan keadilan.
“Ini bukan restorative justice, tapi kekerasan lanjutan yang dilegalkan,” pungkas legislator dari NTB itu.
Kemarahan juga terungkap dari kuasa hukum N, yakni Gary Gagarin, yang mengancam akan mengadukan kasus yang dialami kliennya ke Polda Jabar hingga Komnas Perempuan.
Senada dengan Sari Yuliati, Gary pun menyesalkan respons Polsek Majalaya yang menganggap kasus tersebut tidak memiliki unsur pidana.
“Pernyataan polisi yang menyebut unit PPA Polres Karawang tidak bisa menangani perkara korban karena sudah dewasa, adalah pernyataan yang sangat keliru. Unit PPA tidak terbatas hanya untuk anak di bawah umur, namun juga untuk perempuan yang sudah dikategorikan dewasa menurut hukum,” ungkap Gary, Sabtu (28/6).
Gary juga memprotes adanya pernyataan polisi bahwa perbuatan dilakukan suka sama suka.
“Sama sekali tidak benar. Korban sampai trauma dan ketakutan pasca kejadian. Bahkan sampai mau berhenti kuliah. Maka dari itu kami kemarin datang ke P2TP2A meminta pendampingan psikisnya,” lanjut Gary.
Menurutnya, penanganan yang dilakukan kepolisian adalah perbuatan yang tidak Pro Justicia atau tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku karena tidak melalui proses hukum (due process of law).
“Hal itu sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 mengenai asas objektivitas dan akuntabilitas,” papar dia.
Pihaknya menuntut penegakan hukum yang transparan dan akuntabel terhadap kasus yang dialami kliennya.
“Kami akan terus memperjuangkan keadilan untuk korban. Sudah jadi korban, malah difitnah suka sama suka dan sebagainya. Ibarat pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya berjuang untuk N, tapi kami berjuang untuk semua perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di Indonesia, dan Kabupaten Karawang khususnya,” pungkasnya.
