

JAKARTA – Asosiasi pengusaha minuman di Bali mengeluhkan kebijakan Pemerintah Provinsi Bali yang melarang produksi dan distribusi air minum dalam kemasan di bawah satu liter. Kebijakan Pemprov ini menekan sampah plastik.
Asosiasi dimaksud adalah Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), mengajukan audiensi dengan Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto.
Wamendagri membenarkan, dan mengatakan asosiasi tersebut mengajukan audiensi dengannya.
“Iya ada yang mengadu karena merasa terdampak terhadap pelarangan itu,” kata Bima Arya di Kabupaten Badung Bali, Sabtu (5/7/2025).
“Kalau tidak salah ASRIM itu ya, merasa terdampak dengan kebijakan pak gubernur melarang produksi air kemasan di bawah 1 liter dan distribusinya di seluruh wilayah Bali, diskusinya panjang soal ini,” ujarnya.
Menurut Bima Arya, Kementerian Dalam Negeri sendiri mengaku masih mengkaji kebijakan Gubernur Bali Wayan Koster yang rencananya mulai diterapkan 1 Januari 2026 itu.respons pihak-pihak di dalam ekosistem tersebut, keluhan mereka, kata dia, penting untuk diedengan dan dicari solusinya.
Di sisi lain, kata dia, Kemendagri juga mendukung inisiasi Pemprov Bali dalam upaya mengurangi sampah plastik, namun setiap kebijakan menurutnya perlu mendapat respons balik untuk mengevaluasi.
“Kita kaji sama-sama, setiap kebijakan itu pasti ada plus dan minusnya, ini kan baru tidak apa-apa sebagai inisiasi kita apresiasi untuk mengurangi sampah plastik. Tapi dalam pelaksanaannya pasti harus kita lihat data dan fakta di lapangan, ada penyesuaian apa dengan mendengarkan semua,” jelasnya.
Terkait keluhan para pengusaha tergabung dalam ASRIM itu, Bima Arya menyebut, masih akan dikaji, sebab ia belum melihat secara rinci permintaan para pengusaha.
Masih dijelaskan Bima Arya, untuk menekan timbulan sampah plastik sendiri, perlu faktor substitusi, ekosistem perekonomian, dan faktor penanganan hulu ke hilir.
Ia menambahkan, tindakan mengurangi produksi plastic, diminta tidak mengganggu keseimbangan perekonomian, dengan memikirkan pembentukan larangan atau kebijakan dengan bijak bukan latah.
“Tidak mudah, karena ini bicara dapur, bicara sistem ekonomi yang sudah terbentuk puluhan tahun di negara kita, jadi keseimbangannya bisa agak terganggu,” pungkasnya.
