

JAKARTA – Pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (3/7/2025) kemarin, Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDIP dituntut hukuman penjara 7 tahun, oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
Hasto dinyatakan bersalah oleh jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) untuk anggota DPR Harun Masiku dan perintangan penyidikan.
Menanggapi tuntutan JPU ini, Kuasa hukum Sekjen DPP PDIP Hasto Kristiyanto, Maqdir Ismail, menyatakan bahwa tuntutan JPU KPK terhadap kliennya, merupakan bentuk kriminalisasi politik.
Maqdir menegaskan bahwa kasus ini seharusnya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana biasa, melainkan upaya politisasi hukum.
“Saya kira hal yang sangat perlu mendapat perhatian kita bahwa perkara ini bukan perkara kejahatan murni, tetapi ini adalah seperti berulang kali kami katakan, ini adalah perkara politik yang dikriminalkan,” ujar Maqdir di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Maqdir mengaku, Ia merasa kliennya sedang dikriminalisasi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
“Ini adalah kriminalisasi politik agar supaya ini bisa dituntut dengan tuntutan yang tinggi, diciptakanlah pasal apa yang disebut dengan obstruction of justice,” tambahnya.
Maqdir juga mempertanyakan alat bukti yang digunakan jaksa, termasuk data call detail record (CDR) yang dianggapnya tidak logis dan mencederai akal sehat. Menurutnya, tuntutan JPU benar-benar sangat mencederai akal sehat.
“Kalau mereka mau jujur, penuntut umum itu mereka juga harusnya mengakui bahwa kalau satu hal yang terkait dengan CDR yang mereka katakan, mereka tidak pernah mau ungkap bahwa perjalanan Harun Masiku dari Jakarta Barat sampai ke Tanah Abang hanya dalam waktu satu detik,” jelas Maqdir.
Ia juga menduga adanya manipulasi bukti-bukti elektronik, termasuk soal keberadaan Harun Masiku di PTIK bersama saksi Nur Hasan yang dinilainya mustahil. Hal ini mengingat waktu tempuh yang tidak masuk akal di Jakarta pada malam hari.
“Kalau kita lihat betul secara baik bagaimana perjalanan yang disebut sebagai perjalanan dari Harun Masiku bersama-sama dengan Nur Hasan dari Menteng dengan berputar-putar sampai kemudian mereka katakan berada di PTIK hanya dalam waktu sekitar 30–35 menit, dalam kondisi pukul sekitar pukul 20.17, atau sesudah 17-an, itu tidak mungkin di Jakarta ini kita bisa jalan,” ucap Maqdir.
Selain itu, Maqdir menekankan bahwa pembuktian perkara tidak bisa didasarkan pada asumsi atau imajinasi semata, apalagi ketika saksi seperti Nur Hasan sudah membantah tuduhan keterlibatan. “Pembuktian itu adalah berdasarkan keterangan saksi, bukan berdasarkan imajinasi atau asumsi,” tegasnya.
Maqdir juga menyoroti proses penetapan Hasto sebagai tersangka yang menurutnya janggal dan bernuansa politis. Ia menyebut bahwa Hasto sempat diminta mundur dari jabatannya sebagai Sekjen PDIP dan tidak memecat Joko Widodo (Jokowi) sebagai kader PDIP.
“Mulai dari 13 Desember 2024 dia dihubungi orang meminta dia mundur dari jabatan sebagai sekjen. Kalau dia mundur, dia tidak akan dipidanakan. Itu yang pertama. Kemudian yang kedua, jangan memecat Jokowi. Kalau dua hal ini dilakukan oleh Hasto, maka dia tidak akan dipidanakan,” ungkap Maqdir, mengutip percakapan yang dialami Hasto.
Ia menegaskan bahwa kasus ini tidak bisa dilepaskan dari dinamika internal partai dan kepentingan kekuasaan. Maqdir mengajak awak media untuk mencermati secara saksama bahwa kasus kliennya ini bukan perkara biasa dan bahkan menyeret Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) di dalamnya.
“Bukan perkara suap yang sederhana, bukan juga perkara yang merupakan tindakan menghalangi penyidikan. Tetapi ini adalah upaya, dari diskusi beberapa teman di PDIP ini sebenarnya adalah upaya awal yang sudah tidak berhasil untuk mengambil alih partai ketika Presiden Jokowi meminta tambahan masa jabatan dan juga ketika dia tidak berhasil menambah satu periode,” pungkas Maqdir.(HG)
