

JAKARTA – Jalan Medan Merdeka, Jakarta Pusat dipenuhi ratusan sopir truk terkait muatan berlebih (odol/over dimension over load), pada Rabu (2/7). Akibatnya ruas jalan tersebut macet parah. Kemacetan sudah mulai terlihat dari arah Balai Kota DKI Jakarta hingga patung kuda.
Ratusan sopir truk ODOL itu berunjuk rasa, menuntut perhatian pemerintah, yang menurut mereka tidak tidak pernah peduli dengan pekerja transportasi.
Truk ODOL itu berkonvoi dan berjalan pelan menuju kantor Kementerian Koordinator Infrastruktur di jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Ratusan truk itu konvoi sejak pukul 08.00 WIB. mereka berkumpul dan mulai berjalan beriringan dari kantor Konfederasi Sarikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi) di Jalan Raden Saleh Jakarta.
Saat memasuki Jalan Merdeka Selatan, aparat keamanan memblokade jalan. Truk-truk tersebut terpaksa berhenti, dan memutar balik.
Aparat keamanan meminta para sopir memarkirkan kendaraannya di area yang telah ditentukan. Sebagian truk bahkan parkir di depan Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Rabu (2/7). Sebagian lain truk parkir tepat di depan IRTI.
Mereka menggunakan dua lajur jalan. Akibat hal tersebut, lalu lintas macet parah karena hanya lajur Transjakarta yang bisa digunakan, sehingga kendaraan yang melintas hanya bisa menggunakan lajur Transjakarta tersebut.
Sun Aryo, salah satu sopir truk ODOL menyampaikan, permintaan maaf atas kemacetan ini.
“Saya mau mohon maaf, kami akan mengganggu ketertiban lalu luntas, kami akan membuat kemacetan karena banyaknya kendaraan yang akan hadir di Jakarta. Ini bentuk kekecewaan kami kepada pemerintah yang tidak pernah peduli dengan pekerja transportasi,” ucap Sun Aryo.
Menurut dia, ratusan sopir truk itu juga akan melanjutkan aksi di kantor Kementerian Perhubungan dan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Polres Metro Jakarta Pusat mengerahkan kurang lebih 366 personel untuk mengawal jalannya demo. Adapun tuntutan sopir truk agar pemerintah mengkaji kembali RUU Over Dimension Overload.
Sebagai informasi, aksi unjuk rasa ini sebelumnya sudah disampaikan melalui gelaran konferensi pers oleh sejumlah asosiasi truk ODOL, terkait kebijakan pemerintah ZERO ODOL.
Dalam jump apers itu, penanggungjawab aksi, Ika Rostianti, mengatakan aksi dilakukan bukan untuk menolak kebijakan Zero ODOL tetapi untuk menuntut pemerintah menyiapkan solusi sebelum menerapkan kebijakan tersebut.
Ika mengatakan, pihaknya merencakan aksi yang akan diikuti 300 truk dan 500 sopir. Titik lokasi sasarannya, yakni depan Kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kemenko Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK).
“Kami mendukung Zero ODOL tapi posisi kami di mana? Kami butuh perlindungan,” kata Ika dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa, 1 Juli 2025.
Pemerintah, lanjut Ika, menerapkan kebijakan Zero ODOL tanpa melihat persoalan di lapangan dan tidak melibatkan pengemudi truk.
Dia mengungkapkan, banyak persoalan para sopir truk yang belum diakomodasi. Dicontohkannya, seperti biaya normalisasi armada truk.
“Butuh uang dan itu tidak dipikirkan,” kata dia.
Ika juga menjelaskan, pengemudi truk berbeda-beda jenisnya. Ada yang memiliki hubungan kerja dengan perusahaan, ada sopir harian, dan ada pemilik kendaraan yang secara mandiri mencari muatan.
“Pemerintah mengeluarkan satu regulasi seragam, sedangkan di lapangan ini banyak jenisnya,” ucap Ika.
DItambahkan Farid Hidayat, Pengurus Aliansi Sopir Logistik Indonesia (ASLI) ini mengatakan bila Zero ODOL, biaya operasional sopir truk akan minus. Ia mengambil contoh pengantaran logistik dari Banyuwangi, Jawa Timur menuju Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan ongkos kirim Rp 500 ribu per ton.
Bila Zero ODOL diterapkan, maka truk golongan sedang hanya mengangkut muatan 4 ton sehingga tarif ongkirnya Rp 2 juta. Sedangkan biaya operasional yang dibutuhkan dari Banyuwangi menuju Lombok mencapai Rp 2.150.000.
“Biaya operasional saja minus Rp 150 ribu,” kata dia.
Sementara itu, bila tarif ongkos kirim naik, maka harga barang berpotensi naik. Dampaknya pun dirasakan masyarakat lebih luas.
Itu sebabnya para sopir truk menuntut pemerintah memikirkan dampak dan menyiapkan solusi sebelum menerapkan kebijakan Zero ODOL.
Sopir truk, sebenarnya adalah pihak yang paling dirugikan dalam praktik kendaraan bermuatan dan berdimensi berlebih atau ODOL.
Hal ini diungkapkan Presiden Konfererasi Serikat Buruh Muslimin Indonesia (K-Sarbumusi) Irham Ali Saifuddin.
Sopir truk, kata Irham, menduduki posisi terendah dalam sistem ekonomi transportasi. Di saat yang sama, sopir truk diposisikan menjadi pihak yang paling bersalah, seperti ketika terjadi kecelakaan akibat kendaraan ODOL.
Ketika pemerintah hendak menerapkan Zero ODOL pun, persoalan pengemudi belum terselesaikan. Posisi sopir truk tetap lemah karena tidak memiliki kapasitas bernegosiasi terkait dengan volume maupun tonase truk.
Pasalnya, sebagian besar pemberi kerja menerapkan sistem borongan. Sementara, pemerintah tidak menetapkan kebijakan tarif angkutan barang.
Kondisi ini mengakibatkan terjadi persaingan pasar, kata Ketua Aliansi Pengemudi Angkutan Barang Indonesia (APABI) Rusli.
“Akan terjadi persaingan sesama pengemudi. Yang satu mau angkut, yang satu takut angkut,” kata Rusli.
Untuk diketahui, Menhub Dudy Purwagandhi sebelumnya menyebutkan bahwa kendaraan muatan berlebih kerap menyebabkan kecelakaan hingga menimbulkan korban jiwa, Karena itu, menurut Menhub, penanganan ODOL tidak bisa ditunda karena.
Dudi pun mengutip data Korlantas Polri, bahwa terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang pada 2024. Kemudian dalam catatan Jasa Raharja, angkutan barang menduduku peringkat kedua penyebab kecelakaan.
Selain itu, kendaraan ODOL menjadi penyebab kemacetan, kerusakan infrastruktur jalan, hingga meningkatkan polusi udara di daerah terdampak.
Kendati penertiban ODOL akan segera dilaksanakan, Dudy memastikan tidak ada aturan baru yang dibuat. Kementerian Perhubungan tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Kemudian, mengingatkan kembali komitmen zero ODOL yang telah disepakati oleh stakeholder terkait pada tahun 2017 lalu.
“Mulai saat ini kami hanya akan menjalankan regulasi yang sudah ada secara lebih tegas,” ujar Dudy Purwagandhi, Kamis, 26 Juni 2025, dikutip dari keterangan tertulis.
