

JAKARTA – Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyoroti wacana perpanjangan masa jabatan anggota DPRD. Wacana ini muncul, menyusul adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengusulkan agar pemilihan anggota DPRD digelar bersamaan dengan Pilkada, dalam rentang dua hingga dua setengah tahun usai pelantikan presiden/wakil presiden.
Wacana tersebut dinilai inkonstitusional, pasalnya, keterpilihan anggota DPRD adalah hasil dari pemilihan umum (pemilu) harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali, sebagaimana diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Hal ini diungkapkan Ketua Badan Legislasi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Zainudin Paru, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/7/2025).
Menurut Zainudi, perpanjangan masa jabatan anggota DPRD tanpa Pemilu adalah bentuk tindakan inkonstitusional. Putusan itu, kata dia, melanggar Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, baik dari sisi waktu maupun subjek lembaga yang diatur.
Ia menjelaskan, masa jabatan anggota DPRD yang akan diperpanjang tersebut merupakan imbas dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memisahkan pemilu nasional dan daerah.
Sebagai informasi, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024. Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden.
Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Zainudin menilai, dengan putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, artinya, MK telah melangkah terlalu jauh dan dan mengambil peran pembentuk undang-undang.
“MK seolah-olah mengambil alih peran pembentuk UUD, padahal ranah itu bukan kewenangannya. Ini menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan kita,” ujar Zainudin.
Tak hanya itu, Zainudin juga menyorot inkonsistensi MK yang turut mengusulkan waktu pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurut dia, mengenai apakah pilkada masuk dalam rezim pemerintahan daerah atau kepemiluan nasional, MK tidak memiliki posisi tetap.
“Putusan ini seharusnya masuk dalam ranah manajemen pemilu, bukan konstitusionalitas. Ketidakkonsistenan ini semakin memperlemah posisi hukum MK, apalagi dalam putusan sebelumnya No. 85/PUU-XX/2022, Pilkada disamakan dengan Pemilu,” ujar Zainudin.
DIlansir dari media Kompas, sorotan tentang putusan MK yang memisahkan pemilu nasional dan daerah ini, sebelumnya juga diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menilai, putusan tersebut menimbulkan sejumlah persoalan, salah satunya adalah masa jabatan anggota DPRD di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota.
Pasalnya, kata dia, MK mengusulkan agar pemilihan anggota DPRD digelar bersamaan dengan Pilkada dalam rentang dua hingga dua setengah tahun usai pelantikan presiden/wakil presiden.
Yusril menjelaskan, tidak ada dasar hukum yang membuat masa jabatan DPRD bisa diperpanjang. Sebab dalam konstitusi, DPRD dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali.
“Karena memang anggota DPRD itu harus dipilih oleh rakyat, atas dasar kuasa apa kita memperpanjang mereka itu untuk 2 atau 2,5 tahun? Apakah dibentuk DPRD sementara atau bagaimana, itu juga masalah-masalah yang masih perlu kita diskusikan supaya kita tidak nabrak konstitusi,” ujar Yusril saat ditemui di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (2/7/2025).
DPRD, menurut Yusril, berbeda dengan kepala daerah yang bisa ditunjuk penjabat (Pj) oleh pemerintah pusat. DPRD tentu memiliki jumlah yang lebih banyak dari kepala daerah, sehingga tidak mungkin untuk menunjuk Pj DPRD.
“Kepala daerah mungkin bisa diatasi oleh pemerintah, tapi bagaimana halnya dengan anggota DPRD?” ujar Yusril.
