

Kota Bekasi, caraka-news.com – Sekertaris Dinas Kesehatan Kota Bekasi,dr. Fikri Firdaus menegaskan bahwa regulasi Pemkot Bekasi sudah jelas, pasien yang datang ke Puskesmas maupun rumah sakit, baik pemerintah maupun swasta, tidak boleh dipungut biaya di awal.
“Masyarakat sudah tidak usah takut atau khawatir untuk berobat di Puskesmas, RS Pemerintah atau Swasta, meskipun tak ada biaya atau dari warga tak mampu karena kami sudah menegaskan dan komitmen untuk memberikan dan memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya, ” jelas dr. Fikri.
Apalagi sekarang ini masyarakat yang tidak mampu bisa mengajukan BPJS Kesehatan Penerima Bantuan Iuran (PBI), untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
Pemkot Bekasi melalui Dinas Kesehatan sudah memberikan kemudahan agar masyarakat bisa menjadi peserta BPJS Kesehatan PBI.
“Jika dari awal masuk RS sudah menggunakan layanan Kesehatan kategori umum atau BPJS Kesehatan mandirinya mati, maka pasien tersebut dikenakan biaya sesuai tarif dan ketentuannya. Namun begitu pihak RS masih memberikan waktu tiga hari, bagi pasien untuk mengurus BPJS PBI agar biaya RS selanjutnya ditanggung oleh Pemerintah,” terangnya.
Hal ini diungkapkan di dalam Diskusi publik bertajuk “Layanan Kesehatan Jadi Bancakan, Nyawa Manusia Tergantung Tagihan” dengan subtema Optimalisasi Pelayanan Kesehatan di Kota Bekasi menyedot perhatian luas aktivis sosial, penggiat kesehatan, hingga awak media di Cafe Little Jasmine, di Jalan M. Hasibuan, Bekasi Timur, Kamis (25/09/2025).
Forum ini menghadirkan dr. Fikri Firdaus (Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Bekasi), Wildan Fathurrahman (Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi), serta Budi Aryanto (Ketua LSM Solidaritas Masyarakat Bekasi), dipandu jurnalis muda Mega Puspita.
Ia pun mempersilahkan bagi masyarakat untuk melaporkan jika ada RS yang menolak atau mempersulit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.
“Silakan laporkan ke website Dinas Kesehatan Kota Bekasi jika ada fasilitas kesehatan yang menolak atau meminta uang muka. Semua warga berhak mendapat pelayanan medis segera,” kata dr. Fikri.
Pemerintah Kota Bekasi pun sudah meningkatkan kualitas RS baik milik pemerintah atau swasta tidak hanya sarana dan prasarananya saja.
Namun semua RS di Kota Bekasi harus memiliki standar kompetensi karena hal ini sangat penting mengingat kualitas mutu dan pelayanan kesehatan RS diukur dari standar kompetensi yang dimilikinya.
“Untuk itu, masyarakat tak perlu ragu untuk merujuk RS yang ada di Kota Bekasi, jangan hanya RSUD, RS Mitra Keluarga, RS Primaya dan RS Hermina saja yang diminati. Namun RS Pemerintah lainnya dan RS Swasta lainnya juga sudah memiliki standar kompetensi dan fasilitas dan layanan Kesehatan yang bagus, ” ungkapnya.
Sementara terkait tingginya pengidap HIV/AIDS di Kota Bekasi, Fikri menilai karena Dinas Kesehatan telah melakukan screening dan diketahui jumlah penderitanya dari data screening tersebut.
“HIV dan AIDS diketahui jumlahnya semakin tinggi karena hasil dari screening yang kami lakukan. Bisa seperti gunung es, puncaknya saja yang selama ini kita ketahui. Bisa jadi lebih banyak jumlahnya. Namun belum tentu juga daerah yang selama ini tak punya data penderita HIV/AIDS, bukan berarti daerah itu tak memiliki jumlah penderitanya karena mereka tak melakukan screening, ” ujarnya.
Manfaat dari dilakukannya screening HIV/AIDS maka Pemerintah akan sedini mungkin melakukan upaya pencegahan dan penanganan lebih intens.
” Namun begitu tanggungjawab untuk menanggulangi penyakit HIV/AIDS di masyarakat dibutuhkan tanggungjawab bersama baik pemerintah, swasta dan elemen masyarakat lainnya, karena tanpa kerjasama dan kolaborasi maka selamanya jumlah penderita HIV/AIDS makin tinggi, ” ucapnya.

Sementara Wildan Fathurrahman, Anggota DPRD Kota Bekasi dari Komisi 4 yang berlatar pendidikan kesehatan, melontarkan pernyataan tegas soal maraknya perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Ia mendesak pemerintah dan masyarakat tidak menormalisasi atau memberikan stigma wajar atas perilaku yang Ia sebut menyimpang tersebut.
“Saya berharap pemerintah berani mengeluarkan aturan larangan yang tegas. Jangan jadikan perilaku ini sebagai komoditas tontonan media dan entertainment. Maka jika dibiarkan, moralitas, akhlak dan penyakit kelamin, HIV/AIDS semakin terancam dan meningkat serta membahayakan populasi manusia bisa terancam menyusut,” tegas Wildan.
Ia menambahkan, pemerintah tak perlu takut dicap melanggar HAM. Menurutnya, justru negara punya kewajiban melindungi generasi muda dari bahaya LGBT.
Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pengawasan ketat penggunaan gawai oleh anak-anak.
“Konten menyimpang dan melanggar hukum bisa diakses dengan mudah melalui aplikasi ponsel. Ini berbahaya,” ujarnya.
Ia juga menyinggung soal HIV/AIDS. Menurutnya, tingginya jumlah pasien di Bekasi bukan berarti tingkat penularan lebih parah, melainkan karena Screning di wilayah ini dilakukan secara merata hingga ke tiap kecamatan.
“Bekasi memiliki layanan HIV/AIDS yang relatif lengkap. Banyak penderita dari luar daerah juga memilih berobat di sini,” jelasnya.
Modus Baru Eksploitasi Anak
Suara lantang datang pula dari Budi Aryanto, Ketua LSM SOMASI. Ia mengungkap adanya modus kejahatan baru yang melibatkan pelajar usia SMP di Bekasi.
“Saya temukan tiga anak SMP tanpa KTP bisa menyewa apartemen bulanan untuk praktik open BO. Ini miris. Aparat dan Pemkot harus segera memperketat aturan penyewaan apartemen,” kata Budi.
Menurutnya, praktik tersebut bukan hanya soal moralitas, tetapi juga rawan memperluas penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS.
Pesan dari Forum Diskusi ini menggambarkan dua wajah persoalan di Kota Bekasi: Keluhan masyarakat soal layanan kesehatan yang perlu ditingkatkan dan transparansi anggaran kesehatan serta perilaku sosial yang dianggap menyimpang tapi makin marak di ruang publik.
Kedua hal ini menuntut sikap tegas negara: melindungi kesehatan warganya sekaligus menjaga masa depan generasi muda.(SF)
